ShiErLy

Thursday, March 29, 2007

oRang inDonesiA bAnyaK shoPpinG?????

Perempuan muda berleher jenjang, terbungkus busana hitam ketat, bertopikan miniatur menara Eiffel yang direkatkan pita bendera Perancis. Itulah simbol toko mode tersohor di Paris, Les Galeries Lafayette. Sebuah ilustrasi yang unik, tetapi menjadi "kiblat" dan tujuan wisata belanja utama orang-orang berduit kalau menjejakkan kakinya di Paris.

Bagi orang-orang kaya Indonesia, Lafayette, demikian nama pusat toko busana itu biasa dipendekkan, ibarat satu persinggahan yang tidak boleh terlewatkan. Mereka harus mampir demi berburu busana terbaru yang dipajang di etalase. Merek-merek seperti Cavalli, Rykiel, Lacroix, dan Givenchy bersaing di sini.

Tak mengherankan kalau Lafayette yang pertama kali dibangun tahun 1893 oleh Theophile Bader dan Alphonse Kahn itu menobatkan diri sebagai "Le grand magasin de la mode" alias toko besar mode.


Bangunan Lafayette yang bertingkat tujuh itu terletak di daerah strategis pusat kota Perancis. Ia diapit jalan lebar Rue de Provence dan Boulevard Haussmann. Setiap hari, apalagi bila malam datang menjelang, kendaraan harus merayap di kedua jalan itu. Jika kita berkeliling di pertokoan besar itu dan iseng-iseng memperkenalkan diri kepada seorang penjaga, mereka tak ragu berkata, "Indonesien? Il y a la bonne place pour vous, Mesdames!" Bahkan, dengan keahlian yang dimiliki, mereka sudah mampu "mengendus" seseorang berasal dari Indonesia.

Tak segan petugas atau pemandu lokasi toko memperkenalkan para pramuniaga Indonesia yang bermukim di Paris. Saat kami mengutarakan akan membeli jaket kulit, para pelayan ini pun melayani dalam bahasa Indonesia. "Di sini tak ada produk tiruan, jangan khawatir. Saya akan tunjukkan barang dari kualitas terbaik dengan harga terjangkau kocek orang kita," kata Sasa, pramuniaga asal Surabaya yang sudah mukim di Paris selama enam tahun terakhir.

Meski terasa mahal bagi rupiah, tetapi belanja di Lafayette sesungguhnya jauh "lebih murah" dibanding butik-butik khusus yang mengusung merek tertentu. Di sini selain tempatnya lebih eksklusif, nyaman, sepi tanpa ingar-bingar pembeli, juga barang yang ditawarkan lebih "gila" lagi. Beberapa butik sengaja tidak menerakan harga dalam euro di etalase mereka, tetapi butik lainnya menerakan harga yang kalau dirupiahkan satu helai gaun pun bisa berharga puluhan juta rupiah.


Akan tetapi, orang Indonesia berduit dikenal gemar berbelanja tanpa memperhitungkan harga. Uniknya, mereka tidak terlalu biasa menggunakan kartu kredit terkait dengan ketatnya prosedur pembelian, melainkan menggunakan uang tunai.

Paris Look adalah salah satu gerai yang mengerti betul apa arti Indonesia di d
alam bisnis mereka. "Ayo silakan masuk, rombongan Indonesia diharap menuju lantai bawah untuk mendapatkan penjelasan," begitu imbauan penjaga gerai yang langsung menyambut serombongan orang Indonesia.

Paris Look tahu, untuk memanjakan konsumen Indonesia mereka harus
menyediakan karyawan yang fasih berbahasa Indonesia atau Melayu.
Semua penjelasan soal produk mereka sampaikan dalam bahasa Indonesia.

"Hebat ya, kita disambut pakai bahasa Indonesia," kata seorang pengunjung. Di banner ucapan pun juga ada tertera "Selamat Datang" yang mendampingi tulisan "Welcome", "Bienvenue", dan "Chao Mung".


Orang-orang Indonesia terasa menjadi tamu di negeri sendiri. Tak hanya di Paris Look, toko-toko parfum dan busana di sekitar Paris Look juga menerapkan strategi yang sama, misalnya gerai France & Monde. Karyawan di toko ini dengan mudah bisa mengenali gerak-gerik orang Indonesia. "Ayo, ini murah sekali, di Indonesia harganya tak semurah ini karena di sini bebas pajak untuk turis," begitu rayu seorang penjaga toko.




Tak peduli eksekutif kaya maupun karyawan bergaji pas-pasan, ketika mereka berada di Paris semua menjadi gelap mata. Seorang turis asal Jawa Timur yang belum akrab dengan transaksi menggunakan kartu kredit tampak sedang konsultasi dengan kawan-kawannya apakah jam tangan di salah satu gerai Lafayette itu bisa dibeli dengan kartu kredit atau tidak.

"Keramahan" turis Indonesia tidak hanya dikenal di toko-toko kelas menengah ke bawah yang masih terjangkau kocek. Di gerai mode ternama, tepatnya di jantung ibu kota Paris, Champs Elysees, dengan mudah bisa dikenali wajah-wajah Melayu yang didominasi Indonesia. Salah satu rumah mode ternama di dunia, Louis Vuitton, orang Indonesia boleh menegakkan kepala karena mereka bisa membeli produk mahal yang ditawarkan.



Walaupun harga produk di Louis Vuitton paling murah sekitar Rp 4 juta, justru dengan harga mahal itulah wajah-wajah eksekutif Indonesia rela ikut antre sampai meluber di pinggir jalan. Fenomena orang-orang Indonesia yang bangga bisa masuk dalam jajaran antrean pembeli Louis Vuitton benar-benar semakin menegaskan bahwa Indonesia selain gila belanja (shopaholic) juga mulai mendapat pengakuan dalam jajaran bangsa-bangsa yang tak kalah modis dibandingkan dengan negara lain.

Perilaku shopaholic global memang mendapat dukungan penuh dari inovasi pembayaran yang bisa diterima oleh dunia. Salah satu yang terbesar tentu saja penyelenggara kartu kredit yang didominasi Master Card dan Visa, meski bagi orang Indonesia lebih nyaman menggunakan uang tunai itu tadi.

Seorang pejabat dari sebuah kementerian di Jakarta juga mengeluarkan gepokan euro dari tasnya untuk membeli tiga buah tas yang menurut pramuniaga sedang "in" di Paris. "Pokoknya asal kamu tertarik dan suka, pasti istri saya juga suka," kata pejabat itu meminta tolong seorang wartawati Indonesia untuk memilihkannya.

Orang Indonesia memang paling tajam mengendus.

Tidak hanya di Paris, Gassan Diamonds di Amsterdam, Belanda, juga mempunyai cara khas dalam menjual dagangannya. Perusahaan penjual intan itu juga mempekerjakan karyawan dari berbagai bangsa atau negara, sesuai dengan kebangsaan dan kenegaraan konsumennya.


Jika seseorang mampir ke salah satu toko intannya, maka dengan ramah penerima tamu akan menyambutnya, dan dengan halus mencari tahu bangsa atau negara asal tamunya. Begitu mereka mengetahui bahwa tamunya datang dari Indonesia, maka tamu itu langsung ditemani oleh karyawan yang berasal dari Indonesia.


Perusahaan penjual intan tersebut juga membuka tur-tur terbatas bagi kelompok, khususnya dari luar negeri, untuk meninjau perusahaannya. Kepada mereka dipresentasikan cara memproses intan, termasuk memotong dan menggosoknya. Dan, kelompok tersebut akan didampingi oleh karyawan yang berasal dari negara kelompok itu datang

Labels:


Posted by e y y i :: 7:25 AM :: 0 comments

Post a Comment

-------------------------------------